Mengenal SHGB, Cara Mengurus dan Bedanya dengan SHM
Terakhir diperbarui 16 Juli 2024 · 5 min read · by Septian Nugraha
Sertifikat Hak Guna Bangunan atau SHGB adalah jenis sertifikat yang memberikan hak dan wewenang bagi pemegangnya, untuk memiliki dan mendirikan bangunan di atas lahan yang bukan miliknya.
Sertifikat ini diberikan kepada individu atau badan hukum untuk memiliki dan mendirikan bangunan di atas tanah negara maupun milik perorangan.
Seluk-beluk mengenai SHGB penting untuk diketahui, terutama oleh Anda yang hendak melakukan jual-beli properti.
Pasalnya, ini berkaitan dengan dokumen legalitas yang menjadi aspek paling krusial dalam urusan kepemilikan properti.
Nah, untuk mengetahui lebih jauh hal-hal terkait sertifikat HGB, simak ulasan lengkapnya di bawah ini.
Perbedaan SHM dan SHGB
Sebelum membahas lebih jauh mengenai syarat dan tata cara mengurus sertifikat HGB, sebaiknya Anda mengetahui perbedaan SHM dan SHGB terlebih dahulu.
Selain HGB, ada pula bukti legalitas properti yang disebut Sertifikat Hak Milik (SHM).
Kebanyakan orang masih menganggap kedua jenis sertifikat itu sama, padahal keduanya memiliki sejumlah perbedaan.
Perbedaan SHM dan SHGB paling kentara adalah pemberian hak bagi pemegangnya.
Dalam sertifikat HGB, hak kepemilikan yang diberikan kepada pemegangnya hanya sebatas bangunan yang didirikan atau berdiri di atas lahan tersebut.
Adapun hak atas tanahnya tetap dimiliki oleh negara atau orang lain yang mempunyai hak atas lahan tersebut.
Hal tersebut berbeda dengan SHM yang hak kepemilikannya meliputi tanah dan/atau bangunan yang berdiri di atasnya.
Maka itu, SHM dipandang sebagai hak kepemilikan tertinggi atas tanah dan/atau bangunan berdasarkan hukum Indonesia.
Selain itu, kepemilikan properti bersertifikat hak milik berlaku selamanya, alias tidak terbatas waktu.
Artinya, pemilik properti dengan SHM tidak perlu melakukan perpanjangan untuk masa kepemilikannya.
Berbeda dengan sertifikat HGB yang memiliki masa berlaku selama 30 tahun, serta dapat diperpanjang untuk 20 tahun ke depan.
Kendati demikian, SHM dan sertifikat HGB dapat dijadikan agunan kredit ke lembaga keuangan resmi, baik perbankan maupun non-bank.
Baca juga:
Perbedaan HGB dan SHM, Mulai dari Pengertian hingga Fungsinya
Cara Mengurus SHGB
Sertifikat HGB umumnya diberikan kepada perusahaan berbadan hukum, seperti developer yang hendak mendirikan perumahan atau apartemen.
Jadi, jika Anda hendak merintis usaha developer berbadan hukum, wajib untuk mengetahui tata cara dan syarat pengurusan sertifikat HGB berikut ini:
1. Menyiapkan Persyaratan
Langkah awal dalam mengurus sertifikat HGB adalah menyiapkan sejumlah dokumen persyaratan, meliputi:
- Fotokopi identitas diri
- Sertifikat
- Girik
- Surat kavling
- Surat-surat bukti pelepasan hak pelunasan tanah atau rumah
- PPAT
- Akta pelepasan hak
- Putusan pengadilan
- Surat ukur
- Gambar situasi dan IMB (jika ada)
Setelah itu, buatlah permohonan secara tertulis yang ditujukan kepada pihak berwenang sesuai tempat di mana Anda akan mengurus HGB tersebut.
Bisa ditujukan ke Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, atau Kepala Badan Pertanahan Nasional.
2. Mendatangi Kantor BPN
Setelah itu, Anda bisa mendatangi kantor ATR/BPN setempat dengan menyerahkan semua dokumen persyaratan SHGB.
Nantinya, akan dilakukan pemeriksaan kebenaran data fisik dan yuridis untuk memastikan apakah permohonan tersebut dapat diproses atau tidak.
3. Pembuatan Risalah Pemeriksaan Tanah
Jika sudah dinyatakan lengkap, permohonan akan dilanjutkan dengan proses pembuatan risalah pemeriksaan tanah.
Pihak pemeriksa akan memerintahkan Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk melakukan pengukuran, jika Anda belum memiliki surat ukur.
4. Penerbitan Surat Keputusan
Jika proses di atas berjalan lancar, maka selanjutnya ada penerbitan surat keputusan.
Saat Kutipan Surat Keputusan Pemberian Hak Guna Bangunan diterima, maka Anda harus membayar uang pemasukan kepada negara.
Jumlahnya ditentukan dalam keputusan pemberian haknya.
5. Pembukuan dan Penerbitan Sertifikat HGB
Setelah itu, HGB akan dibukukan dalam buku tanah, berdasarkan alat bukti hak yang ada seperti girik, PPAT, dan lain-lain.
Buku tanah ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Setelah dibukukan, sertifikat HGB pun akan diterbitkan.
Baca juga:
Inilah Contoh Surat Permohonan ke BPN
Kewajiban Pemilik Sertifikat HGB
Setelah menerima sertifikat HGB, tentu ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemegang dokumen tersebut.
Salah satunya menggunakan lahan sesuai dengan persyaratan dan peruntukan yang sudah disepakati dalam keputusan pemberian hak.
Selanjutnya, pemegang sertifikat juga wajib menjaga tanah dan bangunan dengan baik, misalnya menjaga kebersihan dan kelestariannya.
Jika jangka waktu hak guna bangunan habis dan tidak diperpanjang, maka pemegang sertifikat wajib menyerahkan lahan tersebut kepada pemilik aslinya.
Biaya Perpanjangan Hak Guna Bangunan
Setelah mengetahui persyaratan dan tata cara mengurus sertifikat HGB, Anda pun perlu mengetahui biaya perpanjang hak guna bangunan.
Dilansir dalam Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2002, rumus perhitungan biaya perpanjangan HGB adalah;
Jangka waktu perpanjangan HGB yang diberikan / 30 tahun x 1%
Selanjutnya, hasil dari perhitungan tersebut dikalikan dengan Nilai Perolehan Tanah (NPT), yang telah dikurangi NPT Tidak Kena Uang Pemasukan lalu dikali 50%.
Supaya lebih jelas, mari simak perhitungan lengkapnya melalui studi kasus berikut ini;
Dino diberikan waktu perpanjangan HGB hingga 20 tahun.
NPT yang sudah dikurangi NPTTKUP untuk tanah seluas 500 m² adalah Rp800 juta.
Maka, perhitungannya adalah:
20/30 x 1% = 0.0067
Lalu, biaya perpanjangan HGB adalah:
0.0067 x 800.000.000 x 50% = Rp2.680.000
Apakah SHGB Aman?
Pertanyaan selanjutnya, apakah membeli properti dengan status HGB itu aman?
Tentu saja aman, karena seperti yang telah disebutkan, HGB adalah jenis sertifikat hak kepemilikan properti yang diakui oleh hukum Indonesia.
Selain itu, jika Anda membeli apartemen atau perumahan yang didirikan oleh developer berbadan hukum, hak kepemilikan propertinya pasti berstatus HGB.
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tertera dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Disebutkan bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) dan perusahaan-perusahaan tertentu yang ditunjuk pemerintah yang dapat memegang SHM.
Ketentuannya diterangkan dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA.
Terkait badan hukum yang diperbolehkan mendapatkan hak milik, dasar hukumnya tercantum dalam Peraturan Pemerintah No.38/1963.
Disebutkan dalam Pasal 1 beleid tersebut, badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik terdiri dari:
- Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara);
- Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang-Undang No.79 Tahun 1958 (Lembaran-Negara Tahun 1958 No.139);
- Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama;
- Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.
Karena itu, jangan kaget apabila Anda membeli rumah baru dari developer, tetapi legalitasnya masih berstatus HGB.
Namun, sangat disarankan bagi Anda yang membeli rumah dengan legalitas HGB untuk meningkatkan hak kepemilikannya menjadi SHM.
Terkait tata cara pengurusan SHM ke HGB dapat disimak di sini.
Itulah penjelasan mengenai sertifikat HGB beserta cara mengurusnya.
Punya pertanyaan lain seputar properti? Yuk, diskusikan di Teras123!
Semoga bermanfaat.