Stasiun Walantaka adalah satu dari tiga stasiun kereta api peninggalan kolonial Belanda yang masih aktif hingga saat ini, selain Stasiun Serang dan Karangantu.
Stasiun Walantaka adalah stasiun kereta api kecil kelas III yang terletak di Kelurahan Tegalsari, Kecamatan Walantaka, Kota Serang.
Lokasi Stasiun Walantaka sejatinya cukup dekat dengan sejumlah objek wisata, mulai dari Bumi Perkemahan Lebakwangi, Kolam Renang Tirta Nada, hingga Pemandian Lumpur Belerang.
Jadi, wisatawan yang hendak berkunjung ke lokasi wisata tersebut dengan moda transportasi kereta api, bisa turun di Stasiun Walantaka.
Hanya ada satu kereta penumpang yang berhenti di stasiun paling timur di Kota Serang ini, yaitu Kereta Api Lokal Merak dengan rute perjalanan Cilegon–Rangkasbitung.
Sama halnya dengan Stasiun Serang dan Karangantu, yang merupakan dua stasiun aktif lain di Kota Serang, Stasiun Walantaka juga berstatus sebagai situs bersejarah.
Pasalnya, eksistensi stasiun ini juga sudah mengemuka sejak era kolonial Belanda.
Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk bangunannya yang bergaya indis, setipikal dengan Stasiun Serang dan Karangantu.
Hal lain yang membuktikan bahwa bangunan stasiun ini adalah peninggalan Belanda, terlihat pada keberadaan jendela-jendela berukuran besar dan tinggi.
Seperti diketahui, penerapan pintu maupun jendela besar dan tinggi lazim pada gedung-gedung atau bangunan bergaya art-deco peninggalan Belanda.
Merujuk sejarahnya, Stasiun Walantaka memang dibangun oleh jawatan kereta api Hindia Belanda Staatsspoorwegen (SS).
Pembangunan Stasiun Walantaka tak lepas dari proyek pembangunan jalur kereta api Batavia–Rangkasbitung–Serang antara tahun 1890 hingga 1905.
Dahulu, jalur yang menghubungkan Batavia dengan Merak via Rangkasbitung–Serang–Cilegon hanya dilalui oleh satu jalur kereta api.
Lalu, Stasiun Walantaka termasuk dalam rangkaian jalur tersebut hingga saat ini.
Stasiun Walantaka memiliki dua jalur kereta api dengan tipikal sepur lurus.
Stasiun ini juga memiliki sepur badug atau rel buntu yang terletak di sisi timurnya.
Karena berstatus stasiun tua peninggalan Staatsspoorwegen yang masih dipakai hingga sekarang, bangunan Stasiun Walantaka dinobatkan sebagai aset cagar budaya.
Selain stasiun, Walantaka merupakan salah satu daerah bersejarah di Kota Serang, Banten.
Daerah Walantaka diperkirakan sudah eksis sejak abad ke-16.
Kemungkinan sudah ada sejak masa transisi Kerajaan Banten Girang ke Kesultanan Banten.
Terdapat dua versi cerita terkait penyematan nama Walantaka untuk daerah tersebut.
Cerita pertama menyebut bahwa nama “walantaka” diambil dari kisah Sunan Gunung Jati alias Syarif Hidayatullah, yang melakukan perjalanan dari Cirebon.
Di suatu desa, Sang Sunan kemudian bertanya kepada pengawalnya terkait lama perjalanan yang ditempuh menuju desa tersebut.
Syahdan, si pengawal pun menyebut “sewulan teka”, yang berarti satu bulan.
Dialek itu kemudian berkembang menjadi inspirasi penamaan daerah Walantaka.
Adapun versi kedua menyebut bahwa nama Walantaka diambil dari sebuah bukit yang kerap dijadikan para ulama untuk menentukan awal dan akhir Bulan Ramadan.
Karena dijadikan tempat untuk menentukan datangnya bulan baru dalam kalender hijriyah atau “wulan teka,” akhirnya daerah tersebut dikenal dengan nama Walantaka.
Akan tetapi, pada masa kolonial Belanda, bukit tersebut dibelah untuk keperluan pembangunan jalur kereta Rangkasbitung–Merak.
Peristiwa ini tentunya berhubungan dengan sejarah berdirinya Stasiun Walantaka.