Kampung Adat Cireundeu adalah desa adat yang terletak di Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat.
Warga desa adat ini masih konsisten dalam menjalankan kepercayaan Sunda Wiwitan atau “Sunda asli,” yang mendorong pelestarian budaya dan adat istiadat.
Keberlanjutan adat istiadat ini pun menjadi daya tarik bagi wisatawan, baik yang datang untuk berwisata, penelitian, maupun keperluan lainnya.
Kampung Adat Cireundeu diperkirakan sudah ada sejak abad ke-16 atau sekitar 500 tahun yang lalu.
Para sesepuh atau karuhun yang diyakini sebagai sosok di balik lahirnya kampung adat ini, di antaranya Eyang Nursalam, Eyang Ama, dan Aki Madrais.
Cireundeu sendiri berasal dari nama “pohon reundeu,” karena ada banyak pohon tersebut di sekitar wilayahnya.
Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman.”
Arti kata dari Ngindung Ka Waktu adalah mereka sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri, dan keyakinan masing-masing.
Sedangkan Mibapa Ka Jaman, memiliki arti bahwa mereka tidak melawan akan perubahan zaman tapi mengikutinya.
Keunikan dari masyarakat adat ini adalah kebiasaan mereka dalam mengonsumsi singkong sebagai makanan pokok, alih-alih beras.
Di sini, kamu dapat mengunjungi rumah adat, Situs Karuhun, serta menikmati kesenian tradisional yang ditampilkan oleh masyarakat setempat.
Selain itu, terdapat beberapa toko yang menjual oleh-oleh berbahan baku singkong.
Lokasi Kampung Adat Cireundeu dari Kota Bandung sekitar 15 km, dengan waktu tempuh sekitar 1 jam perjalanan.
Rutenya dapat melalui Jalan Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja, Jalan Dr Djunjunan, Jalan Raya Leuwigajah, Jalan Kerkof, Jalan Saptadaya, dan Kampung Adat Cireundeu.
Kampung Adat Cireundeu memiliki hutan keramat dengan mitos yang masih diyakini oleh masyarakat sekitar hingga saat ini.
Ada larangan dan pantangan untuk memasuki hutan ini.
Berlokasi di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, kampung tersebut tetap mempertahankan tradisi dan budaya nenek moyangnya.
Lokasinya terletak di sebuah lembah yang dikelilingi oleh tiga gunung, yaitu Kunci, Cimenteng, dan Gajahlangu.
Ada larangan berburu dan memikat satwa liar di area tiga hutannya, yaitu Hutan Larangan, Tutupan, Baladahan, dan Puncak Salam.
Meskipun dulunya hanya bisa diakses setelah berpuasa total, sekarang pengunjung diizinkan masuk dengan syarat melepas alas kaki.
Memang, warga Kampung Adat Cireundeu tetap terbuka terhadap perkembangan zaman dan teknologi.
Namun, aturan untuk memasuki hutan keramat tetap berlaku, seperti tidak menggunakan alas kaki dan menghindari pakaian berwarna merah.
Ini dilakukan karena mereka percaya bahwa manusia dan alam adalah satu kesatuan.
Sesepuh kampung adat ini pun menekankan pentingnya menjaga keindahan alam dan menghormati makhluk yang ada di dalamnya.
Hal itu dilakukan untuk menjaga sekaligus melestarikan alam, demi mencegah bencana seperti longsor yang terjadi pada tahun 2005.
Seperti desa adat lainnya, ada beberapa ciri khas Kampung Adat Cireundeu yang membuatnya unik sekaligus menarik untuk dikunjungi.
Berikut beberapa ciri khas dari kampung adat di Cimahi ini: