Keraton Kartasura merupakan situs sejarah peninggalan Kerajaan Mataram Islam.
Keraton ini dibangun pada 1680, ketika Mataram Islam dipimpin oleh Sunan Amangkurat II.
Pembangunan Keraton Kartasura tak dimungkiri dilatarbelakangi oleh sejumlah polemik perebutan kekuasaan Kerajaan Mataram Islam.
Penasaran dengan sejarah pembangunan keraton ini? Berikut ulasannya.
Terjadi sejumlah pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan Amangkurat I–penguasa Mataram Islam, salah satunya pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo.
Pemberontakan tersebut memaksa Amangkurat I beserta keluarga mengungsi ke tempat lain.
Dalam kondisi yang serba sulit, Amangkurat I jatuh sakit hingga kemudian meninggal dunia.
Sebelum meninggal, Amangkurat I sempat mengangkat kembali putranya, Pangeran Adipati Anom atau Raden Mas Rahmat sebagai putra mahkota.
Meski begitu, sebelumnya ia sudah menganugerahi anaknya yang lain sebagai gelar putra mahkota, yakni Pangeran Puger.
Setelah Amangkurat I meninggal dunia, Raden Mas Rahmat menyatakan diri sebagai susuhunan menggantikan ayahnya, dengan gelar Amangkurat II.
Pada 1678, Amangkurat II berhasil mengalahkan Trunojoyo dalam pertempuran di Kediri.
Kemudian, Trunojoyo pun ditangkap dan dijatuhkan hukuman mati.
Konflik kekuasaan di Mataram tidak terhenti setelah Trunojoyo tumbang.
Pasalnya, terjadi konflik keluarga antara Amangkurat II dengan saudaranya, Pangeran Puger.
Pangeran Puger enggan mengakui kekuasaan Amangkurat II, lalu malah mengangkat diri sebagai Susuhunan ing Ngalaga yang berkedudukan di Plered.
Adapun Amangkurat II, setelah berhasil mengalahkan Trunojoyo, ia dan pengikutnya berpindah ke Kota Semarang.
Amangkurat II kemudian menyatakan sikap untuk tidak mau kembali ke Kraton Plered, yang diduduki oleh saudaranya.
Kemudian, bersama sejumlah tokoh kerajaan, Amangkurat II menggelar pertemuan agung untuk membahas perpindahan ibu kota dan pusat pemerintahan kerajaan.
Setelah berembuk, akhirnya disepakati bahwa pusat pemerintahan kerajaan dipindah ke Wonokerto, yang kemudian berubah nama menjadi Kartasura.
Di Kartasura, kemudian dibangun Keraton Kartasura Hadiningrat sebagai pusat pemerintahan Mataram Islam yang baru, menggantikan Keraton Plered.
Pada Rabu Pon 16 Ruwah tahun Alip 1603, bertepatan dengan tanggal 11 September 1680, Amangkurat II resmi menempati keraton baru di Kartasura.
Setelah memindahkan pusat pemerintahan dari Plered ke Kartasura, Amangkurat II membujuk Sunan Ngalaga agar bergabung dengannya.
Namun ajakan tersebut ditolak, sehingga menimbulkan perang saudara.
Hingga pada bulan November 1681, Sunan Ngalaga yang mencoba menjatuhkan Kartasura pun kalah tempur.
Sunan Ngalaga akhirnya menyerah dan mengakui kedaulatan kakaknya sebagai Amangkurat II.
Eksistensi Keraton Kartasura sebagai pusat pemerintahan Mataram Islam terbilang singkat, hanya sekitar 65 tahun terhitung sejak 1680 hingga 1745.
Pendeknya usia Kartasura sebagai ibu kota kerajaan disebabkan oleh sejumlah faktor, paling krusial adalah adanya konflik internal dan sejumlah pemberontakan.
Konflik internal dan pemberontakan itu pula yang membuat Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi Kasunanan Surakarta (Keraton Solo) dan Kasultanan Ngayogyakarta (Keraton Jogja).
Adapun mengenai perpindahan ibu kota Kerajaan Mataram Islam dari Kartasura ke Surakarta, terjadi pada masa pemerintahan Pakubuwono II.
Perpindahan tersebut ditengarai imbas dari peristiwa Geger Pecinan pada 1740, yang memorak porandakan Keraton Kartasura.
Hingga saat ini, Keraton Kartasura masih berdiri dan dapat ditelusuri jejak bangunannya.
Hanya saja, peninggalan yang bisa dilihat alias tersisa tinggal Benteng Sri Menganti saja.
Sementara bagian lainnya menjadi kompleks pemakaman raja-raja Mataram Islam.
Baca juga:
Liburan ke Pandawa Water World Sukoharjo, Begini Keseruannya