icon
Rumah 123
Tersedia di App Store & Google Play

Candi Cetho Karanganyar, Situs Peninggalan Majapahit yang Berada di Atas Awan

Candi Cetho adalah candi bercorak Hindu yang terletak di Gunung Lawu, dengan ketinggian sekitar 1.496 meter di atas permukaan laut.

Lokasinya ini membuatnya sebagai salah satu candi tertinggi di Indonesia.

Candi di Karanganyar ini merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit di masa akhir kekuasaan Prabu Brawijaya V.

Tentunya, ada sejarah panjang dan filosofi tersendiri dari setiap teras di candi ini.

Penasaran? Simak ulasannya di bawah ini.

Sejarah Candi Cetho, Peninggalan Kerajaan Majapahit

Sejarah Candi Cetho.jpg

 

Situs Candi Cetho pertama kali ditemukan oleh Van der Vlis pada tahun 1842. 

Hasil penelitiannya diteruskan oleh WF Stuterheim, KC Crucq, dan AJ Bernet Kempers.

Baru pada tahun 1928, Dinas Purbakala Hindia Belanda (Commissie vor Oudheiddienst) mengadakan penelitian, ekskavasi dan rekonstruksi. 

Candi yang bercorak agama Hindu ini diperkirakan selesai dibangun pada tahun 1475 M (sekitar 1397 Saka). 

Ini diketahui berdasarkan prasasti yang ditulis dengan huruf Jawa kuno di dinding gapura. 

Prasasti tersebut bertuliskan:

“Pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397.” 

Jika ditafsirkan, prasasti tersebut menjadi peringatan pendirian tempat peruwatan atau tempat untuk membebaskan diri dari kutukan pada tahun 1397 Saka. 

Keterangan tersebut juga sekaligus memberi penjelasan fungsi dibangunnya candi ini.

 

Usia Candi Cetho.jpg

 

Usia candi ini tidak jauh berbeda dari Candi Sukuh yang cukup berdekatan lokasinya.

Selain Candi Sukuh, terdapat pula Candi Kethek atau candi monyet, yang letaknya sekitar 500 meter dari Candi Cetho. 

Konstruksi candi ini semacam punden berundak yang terdiri atas lima tingkat.

Saat pertama ditemukan candi ini memiliki 14 teras, tetapi saat ini hanya tersisa sembilan.

Kesembilan teras yang dapat ditemukan pada saat ini, merupakan hasil pemugaran yang dilakukan oleh Sudjono Humardani pada tahun 1970-an. 

Pemugaran ini menuai banyak kritik dari para ahli, karena dinilai tidak dilakukan sesuai dengan metode standar dalam arkeologi.

Proses tersebut pun mengubah banyak struktur asli, sehingga bentuknya saat ini sangat mirip bangunan pura di Bali. 

Filosofi Candi Cetho Karanganyar

Filosofi Candi Cetho Karanganyar.jpg

 

Secara filosofis, arti dari nama Cetho adalah “nyata” atau “jelas,” jelas dari pandangan manusia maupun gaib. 

Selain menjadi jalur pendakian, tempat ini masih digunakan untuk peribadatan masyarakat Hindu dan juga para penganut Kejawen sekitaran Karanganyar. 

Candi Cetho Karanganyar juga menjadi tempat favorit bagi para kaum spiritualis. 

Sebelum berkunjung ke candi ini, ada beberapa tingkatan teras yang wajib diketahui.

Pada teras pertama, terdapat gapura besar yang merupakan penambahan saat pemugaran, di sekitarnya terdapat dua arca penjaga. 

Naik ke teras kedua, kamu dapat menjumpai petilasan Ki Ageng Kricingwesi yang dipercaya sebagai leluhur masyarakat Dusun Ceto.

Di teras ketiga, terdapat batu mendatar yang disusun membentuk kura-kura raksasa. 

Kura-kura ini diperkirakan merupakan lambang Majapahit yang disebut “Surya Majapahit.” 

Selain itu, ada pula simbol phallus (alat kelamin pria) sepanjang 2 meter di teras ini. 

Kura-kura merupakan lambang penciptaan alam semesta, sedangkan phallus merupakan lambang penciptaan manusia. 

Ada banyak pula penggambaran hewan-hewan atau disebut juga sengkalan memet, yang merupakan catatan dimulainya pembangunan candi ini.

 

Filosofi Teras di Candi Cetho.jpg
Foto Candi Cetho (Mytrip123.com)

 

Naik ke teras keempat, terdapat relief yang memuat cuplikan kisah Samudramanthana dan Garudeya. 

Cuplikan tersebut semakin menguatkan asumsi fungsi dari candi ini, yakni sebagai tempat peruwatan atau pembersihan dari kutukan. 

Sementara pada teras kelima dan keenam, terdapat bangunan berupa pendapa yang sering digunakan sebagai tempat berlangsungnya upacara-upacara agama. 

Pada teras ketujuh, terdapat dua arca di sisi utara dan selatan.

Arca tersebut adalah arca Sabdapalon dan Nayagenggong. 

Menurut kepercayaan, Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan penasihat spiritual Prabu Brawijaya V.

Di teras kedelapan, terdapat arca phallus yang disebut “kuntobimo” dan arca Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. 

Sementara, teras terakhir atau kesembilan merupakan tempat pemanjatan doa. 

Teras kesembilan ini tidak dibuka setiap saat, hanya dipakai pada acara-acara khusus seperti sembahyang.

Lokasi, Harga Tiket, dan Jam Operasional

Lokasi Candi Cetho.jpg

 

Candi Cetho berada di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Lokasinya berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur, sekitar 24 km ke timur dari pusat kota Karanganyar.

Kamu dapat memakai kendaraan bermotor untuk sampai ke candi ini, dengan estimasi waktu berkendara sekitar 48 menitan.

Selain menjadi tempat untuk belajar sejarah, Candi Cetho juga dapat dijadikan tempat foto atau eskapisme dari rutinitas yang melelahkan.

Harga tiket masuknya hanya Rp10.000 per orang, dengan biaya parkir jika kamu membawa kendaraan pribadi.

Candi Cetho buka selama 24 jam pada hari Selasa dan Jumat.

Sedangkan untuk hari lainnya, buka dari jam 8 pagi sampai 4 sore.

Rumah123 Tools

Sedang Mencari Properti?

Sedang Mencari Properti?

Temukan rumah impian Anda di Rumah123.com!
Cari Properti
Solusi Miliki Hunian dengan KPR

Solusi Miliki Hunian dengan KPR

Cicilan per bulan ringan, proses cepat, dan masih banyak lagi!
Ajukan KPR
Cek Harga Properti

Cek Harga Properti

Ketahui estimasi harga properti berdasarkan spesifikasi dan lokasi.
Cek Sekarang
Bagikan
Gagal menyimpan properti
Silahkan login/register untuk menyimpan properti lebih banyak