Keraton Kasepuhan merupakan situs sejarah sekaligus destinasi wisata favorit di Kota Cirebon.
Keraton peninggalan Kesultanan Cirebon itu memiliki dua kompleks bangunan.
Kompleks bangunan pertama dikenal dengan nama Keraton Dalem Agung Pakungwati, yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana pada tahun sekitar 1430.
Saat ini, kompleks bangunan Keraton Dalem Agung Pakungwati tinggal menyisakan reruntuhan bangunan beserta gua buatan, sumur, dan taman.
Adapun kompleks bangunan kedua dikenal dengan nama Keraton Pakungwati, yang kini menjadi bangunan Keraton Kasepuhan.
Keraton Pakungwati dibangun pada 1529 oleh Pangeran Emas Zainul Arifin.
Posisinya ada di sebelah barat Keraton Dalem Agung Pakungwati.
Adapun penyematan kata “pakungwati” sebagai nama keraton, terinspirasi dari sosok Ratu Dewi Pakungwati.
Beliau adalah putri Pangeran Cakrabuana, yang merupakan istri Sunan Gunung Jati, buyut dari Pangeran Mas Zainul Arifin.
Menelusuri sejarah Keraton Kasepuhan, tentu erat kaitannya dengan runtuhnya Kerajaan Cirebon pada tahun 1666, di masa kepemimpinan Pangeran Rasmi atau Panembahan Ratu II.
Kala itu, Panembahan Ratu II diasingkan ke Surakarta lantaran dituduh bersekongkol dengan Kesultanan Banten untuk menjatuhkan kekuasaan Sultan Amangkurat I, penguasa Mataram yang juga mertua dari Panembahan Ratu II.
Setelah Panembahan Ratu II diasingkan ke Surakarta dan wafat pada 1667, takhta Kerajaan Cirebon pun diambil alih Mataram.
Kabar pengambilalihan sepihak takhta Kerajaan Cirebon oleh Mataram pun sampai ke telinga Sultan Ageng Tirtayasa, penguasa Kesultanan Banten.
Sultan Ageng yang marah turun tangan membantu memulihkan situasi di Kerajaan Cirebon.
Ia juga menyelamatkan kedua putra Panembahan Ratu II–Pangeran Kartawijaya dan Pangeran Martawijaya, yang juga diasingkan Mataram.
Namun, masalah tidak berhenti sampai di sana, karena pada 1677 terjadi konflik internal di lingkungan Kesultanan Cirebon.
Penyebabnya adalah terjadi silang pendapat di kalangan keluarga mengenai penerus kerajaan.
Sultan Ageng Tirtayasa pun kembali turun tangan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Sultan Ageng akhirnya memutuskan membagi Kesultanan Cirebon menjadi tiga, yaitu Kesultanan Kanoman, Kesultanan Kasepuhan, dan Panembahan Cirebon.
Kesultanan Kanoman dipimpin oleh Pangeran Kartawijaya yang bergelar Sultan Anom I.
Kesultanan Kasepuhan diberikan kepada Pangeran Martawijaya yang bergelar Sultan Sepuh I, sementara Pangeran Wangsakerta menjadi panembahan di Cirebon.
Sejak saat itu, Sultan Sepuh I menempati Keraton Pakungwati yang kemudian berganti nama menjadi Keraton Kasepuhan.
Keraton Kasepuhan Cirebon memiliki desain bangunan yang unik, meski kerajaannya bercorak Islam, tetapi arsitektur bangunannya banyak dipengaruhi unsur dari agama Hindu.
Hal tersebut terlihat dari sejumlah ornamen dan keramik yang ada di keraton tersebut.
Meski begitu, unsur Islam pun tetap melekat pada desain bangunan Keraton Kasepuhan, salah satunya dapat dilihat dari jumlah tiang penyangga pendopo.
Jumlah tiang penyangga Pendopo Keraton Kasepuhan ada yang berjumlah lima buah, sebagai perambang rukun Islam.
Kemudian, ada pendopo yang memiliki enam tiang penyangga sebagai lambang rukun iman.
Keraton Kasepuhan Cirebon tentunya menjadi destinasi wisata yang patut dikunjungi, ketika bertandang ke Kota Udang.
Selain berjalan-jalan di sekitar komplek keraton sembari menyaksikan kemegahan bangunannya, pengunjung pun bisa menyambangi museum yang terdapat di sana.
Museum tersebut menyimpan banyak benda pusaka Kesultanan Cirebon, seperti kereta kencana Singa Barong yang menjadi kendaraan Sunan Gunung Jati.
Objek wisata yang berada di Jalan Kasepuhan No.43, Kesepuhan, Lemahwungkuk, Kota Cirebon itu, buka pada setiap hari mulai pukul 08:00 hingga 18:00 WIB.
Adapun tiket masuknya dibanderol dengan harga Rp22 ribu per orang.